JANGAN BERPEGANG PADA AMAL

kebun hikmahMari meraih kearifan melalui kalam hikmah pertama yang mengalir dari kesucian hati Imam Ibnu ‘Athaillah al-Iskandari sebagai berikut

Sebagai tanda berpegang (manusia) pada amal, dia kurang harapannya ketika terjadi kesalahan-kesalahan.

Manusia diciptakan dengan tujuan, dan tujuan tidak cukup hanya diinginkan atau dipikirkan, tetapi memerlukan effort (usaha) untuk pencapaian tujuan tersebut. Untuk pencapaian tujuan, dibutuhkan usaha tahap demi tahap. Memang, tak bisa dipungkiri bahwa usaha menjadi jalan—tetapi bukan sebab independen—untuk meraih apa yang menjadi tujuan.

Kendati manusia harus beramal untuk menggapai tujuan, dia tidak harus bergantung pada amal. Karena orang bergantung pada amal, maka keadaan batinnya akan disetel oleh amal itu. Ketika amalnya banyak, harapannya pada Allah mengalami pasang, tetapi kalau amalnya sedikit, maka akan sedikit harapannya pada Allah, apalagi kalau terpeleset dalam amal maksiat, bukan hanya mengurangi harapan, bahkan akan bersikap putus asa.

Dalam konteks kalam ini, Imam Ibnu ‘Athaillah al-Iskandari hendak menyampaikan bahwa orang tidak selayaknya bergantung pada amal, karena orang yang bergantung pada amal, tanpa disadari bergantung pada dirinya sendiri. Bukankah amal itu datang dari manusia sendiri?

Kebanyakan manusia bergantung pada amal, bahkan menjaminkan keberhasilan pada amal itu sendiri. Dan siapa yang bergantung pada amal—bagi pejalan menuju Allah—justru akan mengalami keadaan berat dalam perjalanan. Karena hidupnya akan selalu terseok-seok oleh karena fluktuasi amal yang dilakukan. Sadarilah saudaraku, bahwa orang yang bergantung pada amal, dia bergantung pada sandaran yang rapuh.

Jika muslim bergantung pada amal, sementara orang beriman bergantung pada anugerah Allah. Dia bergantung pada apa yang datang dari Allah, sehingga dia terus dalam keadaan seimbang. Andaikan dia berbuat baik, tidak akan menambah harapannya pada Allah, dan kalau berbuat maksiat tidak akan berkurang harapannya, apalagi terbenam dalam keputus-asaan.

Orang beriman selalu bergantung pada sifat-sifat Allah, dan dia tidak menemukan dibalik setiap realitas yang menghinggapi dirinya kecuali melihat kasih sayang Allah tersembunyi dibalik realitas itu. Sosok seperti ini tidak akan pernah diombang-ambing oleh suatu yang datang dari dirinya, karena dia selalu fokus dengan rahmat Allah yang meluas dan merembes ke seluruh dimensi kehidupan. Telah menghunjam di kesadarannya, bahwa rahmat Allah mengalahkan kemurkaan-Nya. Karena itu, selayaknya manusia selalu mendamba rahmat Allah.

Penekanan agar orang bergantung pada rahmat Allah sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Sayyidina Muhammad Saw, “Tidaklah engkau sekalian masuk surga karena amalmu”, ada sahabat bertanya, “tidak engkau wahai Rasulallah?” “tidak pula aku, kecuali Allah meliputi diriku dengan rahmat-Nya.”

Maka orang beriman selayaknya bergantung pada rahmat Allah. Kendati demikian, kita tidak boleh berlepas dari amal. Pencapaian tujuan tanpa diawali dengan amal, justru bisa disebut angan-angan, tetapi kalau orang bergantung pada amal, malah akan terasa sangat berat beban hidup yang ditanggungnya. Dengan bergantung pada rahmat Allah, justru hidup akan menjadi ringan dan enjoy, tak terkesan kaku dalam menjalani kehidupan ini. Memang, agama hari bukan untuk membuat kita terbebani, malah menjadi rahmat yang bisa melempangkan dan memudahkan jalan Anda untuk meraih kebahagiaan.

Ketiga, bergantung pada Allah. Jika orang mukmin bergantung pada rahmat Allah, karena melihat sifat-sifat-Nya yang indah dan luhur, maka orang muhsin hanya bergantung pada takdir Allah. Dia sendiri tidak punya rencana dalam kehidupan kecuali melekat kuat pada rencana dan takdir Allah. Dia hanya mempersiapkan hati untuk bisa merespons yang terbaik atas setiap realitas atau peristiwa yang menghampiri dirinya.

Mengapa kita disarankan tidak bergantung pada amal? Karena kalau orang bergantung pada amal, berarti orang yang nantinya memeroleh tempat yang tinggi di hadapan Allah hanyalah orang yang memiliki usia panjang dan seluruh umurnya diisi dengan kebaikan pada-Nya. Adapun balita yang baru dilahirkan, langsung meninggal dunia, tidak memeroleh tempat yang tinggi di hadapan Allah.

Allah tidak membutuhkan ilmu, amal, kedudukan atau apa saja darimu, kecuali mengharapkan kau datang dengan hati yang bersih. Kualitas kebersihan hati akan mengantarkan manusia mendekat pada Allah.

Leave a comment